Setelah gejolak daging sapi dan unggas beberapa bulan kemarin, kini giliran jagung mengalami hal yang sama. Beberapa hari kemarin, Kementerian Pertanian (Kementan) mendapat surat dari Gabungan Perusahaan Makan Ternak (GPMT) perihal kelangkaan jagung akibat pengendalian impor.
Mengetahui hal itu, Kementan lewat Direktur Pakan Ternak, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Nasrullah, langsung menggelar jumpa pers guna meluruskan kisruh jagung ini. Menurutnya, dari informasi yang ia himpun dari media massa, sebagaimana diungkapkan oleh Ketua Umum Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) pabrik pakan memborong jagung petani karena khawatir akan kehabisan pasokan. “Berarti ini ada dua statement yang kontradiktif, sebab buktinya ini ada yang bisa borong jagung,” ujar Nasrullah mengawali konferensi pers di kantornya, Kamis 22 Oktober 2015.
Poin lain yang juga ia sampaikan adalah mengenai data produksi jagung pada tahun ini. “Berdasarkan Aram I yang dikeluarkan BPS, produksi jagung kita sampai Desember tahun ini 20,6 juta ton, ini meningkat dari tahun lalu yang hanya 19 juta ton,” ungkapnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, bila dirunut kembali kebutuhan jagung dari 20,6 juta ton bukan hanya untuk kebutuhan pakan ternak, melainkan untuk beberapa kebutuhan lain. Seperti kebutuhan benih sebanyak 104-105 ribu ton, konsumsi langsung 398 ribu ton, kebutuhan pakan ternak 14,86 juta ton yang terbagi dua dengan pabrik pakan (industri) 8 juta ton dan peternak (self mixing) 6,6 juta ton. Kemudian kebutuhan lain 4 juta ton, dan losses produksi 1 juta ton. “Jika ditotal maka masih ada surplus 174 ribu ton,” kata Nasrullah.
Padahal awal tahun ini, dari data yang berhasil ia dapat, adalah puncak panen jagung lokal yang berbarengan dengan masuknya impor. “Periode Februari-April adalah puncak produksi jagung lokal mencapai 2-3 juta dan tertinggi dalam setahun. Tapi disaat yang sama puncak masuknya impor juga tertinggi. Impor Februari 328 ribu ton, Maret 305 ribu ton dan April 310 ribu ton,” jelasnya.
Menurutnya, hal ini menunjukkan bahwa para pengusaha pakan ternak belum terlalu serius menyerap produksi rakyat. “Pelaku bisnis belum terlalu serius menyerap produksi lokal. Kalau mereka serius, harusnya di tiga bulan (Februari-April) itu adalah titik terendah impor, bukan malah yang tertinggi. Mungkin kalau di Agustus impor kembali tinggi wajar karena mulai kekeringan,” paparnya.
Perilaku tersebut, menurutnya dinilai membuat para petani jagung rugi. Impor jagung yang melimpah membuat harga jagung lokal anjlok dan membuat petani gigit jari. “Kalau produksi meningkat tapi impor meningkat, harga pasti turun. Beberapa bulan lalu harga jagung petani kita rendah sekitar Rp 1000, kalau ada produksi 1 juta ton saja, berapa petani mengalami kerugian,” terang dia.
Nasrullah mengkhawatirkan anjloknya harga jagung akibat permainan impor dan membuat petani tak mau lagi menanam jagung, sehingga Indonesia makin bergantung pada impor. Karena itulah impor perlu dikendalikan. “Karena jagung ini sangat spesifik, berbeda dengan padi. Kalau padi ketika harga anjlok petani tetap menanam karena merupakan kebutuhan utama/pokok. Sedangkan jagung berbeda, ketika harga anjlok petani akan berhenti menanam dan pindah ke komoditas lain. Karena itulah jagung ini harus kita pelihara harganya,” tuturnya.
Dengan pengendalian impor tersebut, lanjut dia, kemungkinan akan mampu menstabilkan harga jagung dan memberi nafas bagi petani. Menurutnya, Kementan tetap mempersilahkan impor, namun berdasarkan kebutuhan bukan berdasarkan keinginan. “Kita mempersilahkan impor jagung berdasarkan kebutuhan, bukan keinginan. Kalau impor berdasarkan kebutuhan tidak begini jadinya,” ucapnya.
Kendati begitu, diakui juga olehnya bahwa jagung lokal memang sulit diperoleh meski produksinya melimpah, karena sentra-sentranya berada jauh dari industri pakan ternak. Namun, itu bukan alasan kuat untuk mengimpor jagung.
“Berbagai macam persoalan muncul, termasuk aksesibilitas memperoleh jagung. Tapi disinilah upaya jika kita ingin pro terhadap bangsa. Memang jagung lokasinya tersebar, impor lebih mudah. Tapi tidak mencerminkan pro terhadap bangsa ini kalau impor. Kita harapkan industri pabrik pakan atau non industri bisa lebih melebarkan sayap dan mengintensifkan untuk mencari, membeli produksi jagung rakyat,” ucapnya.
Kemungkinan ada permainan para spekulan
Ia menambahkan, kelangkaan ini dinilai bukan karena kekurangan produksi, melainkan ada permainan dari para spekulan. “Kalau sekarang ada kelangkaan, itu mungkin spekulasi orang-orang yang ingin mengambil keuntungan saja,” tambahnya.
Sebab, ia menduga banyak para pedagang besar yang memiliki modal dan infrastruktur yang memadai untuk menyimpan jagung. “Peternak lokal tidak mampu beli jagung dalam jumlah besar karena tidak memiliki silo. Silo kan mahal, mungkin kalau pedagang besar beli borongan dan disimpan dalam silo, itu bisa saja,” kata dia.
Namun, pihaknya tak mau membeberkan lebih jauh siapa yang mungkin melakukan penimbunan jagung. “Soal spekulan itu, saya tidak mau banyak berkomentar, saya hanya melihat mungkin saja,” tukasnya.
Impor sepenuhnya dikuasai Bulog
Ia juga mengatakan, bahwa pihaknya melarang masuk ratusan ribu ton jagung impor yang sudah mendarat di pelabuhan, dengan alasan stok jagung di dalam negeri masih mencukupi. “Izinnya baru diminta ke kita saat kapal sudah jalan. Kalau perlu impor, tidak boleh barangnya sudah ada baru diusulkan. Harus izin dulu dong,” jelasnya.
Dalam rapat dengan Kementan sebelumnya, GPMT mengusulkan kuota impor jagung sebanyak 500 ribu ton untuk kebutuhan Oktober-November. Namun hanya direalisasikan lewat Surat Persetujuan Pemasukan (SPP) sebanyak 250 ribu ton. Sampai saat ini Kementan belum berencana menerbitkan SPP lagi. “Belum ada keputusan berapa yang diizinkan, kemarin hanya dikeluarkan sekitar 250 ribu ton. Keinginan industri pakan masuk 250 ribu ton lagi,” terang dia.
Menurut perhitungan Kementan, produksi jagung di dalam negeri sudah dapat mencukupi seluruh kebutuhan untuk Oktober sampai akhir tahun ini. Namun bila ternyata ada kekurangan pasokan, impor akan dilakukan oleh Perum Bulog, bukan oleh swasta. Sebab sampai akhir tahun ini tidak ada lagi jatah impor jagung untuk swasta.
“Kan wajar saja, pemerintah harus mengendalikan impor dan pemerintah menunjuk Bulog untuk melaksanakan itu. Bulog adalah refresentatif dari pemerintah. Kalau masih ada kekurangan pasokan, maka impor hanya akan dilakukan oleh Bulog,” jelas Nasrullah.
Ia mengklaim bahwa pemberian kewenangan kepada Bulog untuk menguasai impor jagung sudah disepakati bersama oleh pemerintah dan pihak GPMT pada rapat 5 Oktober lalu. “Mekanisme kenapa Bulog sudah diberi peran itu sudah kesepakatan bersama, dihadiri perwakilan GPMT juga. Terakhir kita rapat 5 Oktober 2015. Bahwa bila ada kekurangan stok, yang mengimpor Bulog. Nanti industri pakan ambil di Bulog,” paparnya.
ia menyatakan bahwa penugasan yang diberikan kepada Bulog untuk mengambil alih impor jagung dalam rangka pengendalian sudah sesuai dengan Undang Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) untuk aturan pelaksanaannya juga akan segera diterbitkan. Begitu Permentan terbit, izin impor jagung untuk Bulog bisa dikeluarkan. “Payung hukumnya UU Pangan, kemudian kita masukan dalam Permentan. Permentan akan segera keluar, berlaku 1 Oktober 2015,” ucapnya.
Penguasaan impor sepenuhnya yang dilakukan oleh Bulog, dikatakan Nasrullah, Bulog tidak mengambil keuntungan sama sekali. Hanya ada biaya tambahan sebesar Rp 10 per kg untuk biaya evaluasi dan penggunaannya pun akan dipertanggungjawabkan. “Rp 10 itu bukan fee Bulog, itu biaya pengecekan dan pengendalian, itu kesepakatan forum, nanti pengunaannya akan dipertanggungjawabkan untuk apa saja,” tandasnya.
Sebagai informasi, dari rencana total impor jagung tahun 2015 sekitar 3,5 juta sampai akhir Desember dengan melihat produksi jagung dalam negeri, dan impor yang sudah terealisasi sampai hari ini tercatat sebanyak 2,5 juta ton. Sedangkan total impor jagung sepanjang 2014 lalu sebesar 3,1 juta ton.
Kendalikan impor untuk jaga harga jagung petani
Pihak Kementan terus berupaya mengendalikan impor guna memperbaiki harga jagung. Kali ini Direktur Jenderal Tanaman Pangan, Hasil Sembiring, menyatakan harga jagung tahun ini masih lebih rendah ketimbang tahun lalu. Bahkan bila tak ada pengendalian impor, harga jagung lokal akan makin merosot. “Kalau nggak ada kebijakan pengendalian impor, harga jagung domestik 2015 akan jauh lebih rendah dibanding tahun 2014, sehingga dikhawatirkan mengurangi minat petani. Apa mau, harga jagung lokal jatuh lagi?,” ujarnya saat menggelar konferensi pers di kantornya, Jumat 23 Oktober 2015.
Ia menambahkan, harga jagung tahun 2015 masih lebih rendah dibanding tahun lalu. Dari data yang dikeluarkan Badan Ketahanan Pangan (BKP), harga jagung nasional pada September 2015 tercatat Rp 3.268 per kg, masih lebih rendah dari September 2014 sebesar Rp 3.430 per kg.
“Harga jagung tertinggi tahun 2014 terjadi pada bulan Juni Rp 3.576, sedangkan harga tertinggi 2015 terjadi pada bulan Juli yaitu Rp 3.408. Jadi masih lebih rendah dari tahun 2014. Kalau ada klaim harga mencapai Rp 4.000 per kg, itu hanya terjadi di Banten dan pola harga itu serupa dengan pola tahun-tahun sebelumnya. Jadi sudah biasa diantisipasi oleh indutri pakan di Banten,” tambahnya.
Ia menegaskan kembali bahwa, Kementan akan tetap melakukan kebijakan pengendalian impor. Kebijakan pengendalian impor dimaksudkan untuk memperbaiki pola impor yang selama ini tidak mendukung produksi jagung lokal. Tahun ini impor jagung melonjak bersamaan dengan musim panen.
“Data Maret 2014-Juni 2015 menunjukkan volume impor bulanan relatif tetap bahkan pada puncak panen raya. Namun, harga jagung pada saat puncak panen raya tahun ini selalu melemah dan naik lagi pada periode sesudahnya," pungkasnya. (rbs)
Mengetahui hal itu, Kementan lewat Direktur Pakan Ternak, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Nasrullah, langsung menggelar jumpa pers guna meluruskan kisruh jagung ini. Menurutnya, dari informasi yang ia himpun dari media massa, sebagaimana diungkapkan oleh Ketua Umum Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) pabrik pakan memborong jagung petani karena khawatir akan kehabisan pasokan. “Berarti ini ada dua statement yang kontradiktif, sebab buktinya ini ada yang bisa borong jagung,” ujar Nasrullah mengawali konferensi pers di kantornya, Kamis 22 Oktober 2015.
Poin lain yang juga ia sampaikan adalah mengenai data produksi jagung pada tahun ini. “Berdasarkan Aram I yang dikeluarkan BPS, produksi jagung kita sampai Desember tahun ini 20,6 juta ton, ini meningkat dari tahun lalu yang hanya 19 juta ton,” ungkapnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, bila dirunut kembali kebutuhan jagung dari 20,6 juta ton bukan hanya untuk kebutuhan pakan ternak, melainkan untuk beberapa kebutuhan lain. Seperti kebutuhan benih sebanyak 104-105 ribu ton, konsumsi langsung 398 ribu ton, kebutuhan pakan ternak 14,86 juta ton yang terbagi dua dengan pabrik pakan (industri) 8 juta ton dan peternak (self mixing) 6,6 juta ton. Kemudian kebutuhan lain 4 juta ton, dan losses produksi 1 juta ton. “Jika ditotal maka masih ada surplus 174 ribu ton,” kata Nasrullah.
Padahal awal tahun ini, dari data yang berhasil ia dapat, adalah puncak panen jagung lokal yang berbarengan dengan masuknya impor. “Periode Februari-April adalah puncak produksi jagung lokal mencapai 2-3 juta dan tertinggi dalam setahun. Tapi disaat yang sama puncak masuknya impor juga tertinggi. Impor Februari 328 ribu ton, Maret 305 ribu ton dan April 310 ribu ton,” jelasnya.
Menurutnya, hal ini menunjukkan bahwa para pengusaha pakan ternak belum terlalu serius menyerap produksi rakyat. “Pelaku bisnis belum terlalu serius menyerap produksi lokal. Kalau mereka serius, harusnya di tiga bulan (Februari-April) itu adalah titik terendah impor, bukan malah yang tertinggi. Mungkin kalau di Agustus impor kembali tinggi wajar karena mulai kekeringan,” paparnya.
Perilaku tersebut, menurutnya dinilai membuat para petani jagung rugi. Impor jagung yang melimpah membuat harga jagung lokal anjlok dan membuat petani gigit jari. “Kalau produksi meningkat tapi impor meningkat, harga pasti turun. Beberapa bulan lalu harga jagung petani kita rendah sekitar Rp 1000, kalau ada produksi 1 juta ton saja, berapa petani mengalami kerugian,” terang dia.
Nasrullah mengkhawatirkan anjloknya harga jagung akibat permainan impor dan membuat petani tak mau lagi menanam jagung, sehingga Indonesia makin bergantung pada impor. Karena itulah impor perlu dikendalikan. “Karena jagung ini sangat spesifik, berbeda dengan padi. Kalau padi ketika harga anjlok petani tetap menanam karena merupakan kebutuhan utama/pokok. Sedangkan jagung berbeda, ketika harga anjlok petani akan berhenti menanam dan pindah ke komoditas lain. Karena itulah jagung ini harus kita pelihara harganya,” tuturnya.
Dengan pengendalian impor tersebut, lanjut dia, kemungkinan akan mampu menstabilkan harga jagung dan memberi nafas bagi petani. Menurutnya, Kementan tetap mempersilahkan impor, namun berdasarkan kebutuhan bukan berdasarkan keinginan. “Kita mempersilahkan impor jagung berdasarkan kebutuhan, bukan keinginan. Kalau impor berdasarkan kebutuhan tidak begini jadinya,” ucapnya.
Kendati begitu, diakui juga olehnya bahwa jagung lokal memang sulit diperoleh meski produksinya melimpah, karena sentra-sentranya berada jauh dari industri pakan ternak. Namun, itu bukan alasan kuat untuk mengimpor jagung.
“Berbagai macam persoalan muncul, termasuk aksesibilitas memperoleh jagung. Tapi disinilah upaya jika kita ingin pro terhadap bangsa. Memang jagung lokasinya tersebar, impor lebih mudah. Tapi tidak mencerminkan pro terhadap bangsa ini kalau impor. Kita harapkan industri pabrik pakan atau non industri bisa lebih melebarkan sayap dan mengintensifkan untuk mencari, membeli produksi jagung rakyat,” ucapnya.
Kemungkinan ada permainan para spekulan
Ia menambahkan, kelangkaan ini dinilai bukan karena kekurangan produksi, melainkan ada permainan dari para spekulan. “Kalau sekarang ada kelangkaan, itu mungkin spekulasi orang-orang yang ingin mengambil keuntungan saja,” tambahnya.
Sebab, ia menduga banyak para pedagang besar yang memiliki modal dan infrastruktur yang memadai untuk menyimpan jagung. “Peternak lokal tidak mampu beli jagung dalam jumlah besar karena tidak memiliki silo. Silo kan mahal, mungkin kalau pedagang besar beli borongan dan disimpan dalam silo, itu bisa saja,” kata dia.
Namun, pihaknya tak mau membeberkan lebih jauh siapa yang mungkin melakukan penimbunan jagung. “Soal spekulan itu, saya tidak mau banyak berkomentar, saya hanya melihat mungkin saja,” tukasnya.
Impor sepenuhnya dikuasai Bulog
Ia juga mengatakan, bahwa pihaknya melarang masuk ratusan ribu ton jagung impor yang sudah mendarat di pelabuhan, dengan alasan stok jagung di dalam negeri masih mencukupi. “Izinnya baru diminta ke kita saat kapal sudah jalan. Kalau perlu impor, tidak boleh barangnya sudah ada baru diusulkan. Harus izin dulu dong,” jelasnya.
Dalam rapat dengan Kementan sebelumnya, GPMT mengusulkan kuota impor jagung sebanyak 500 ribu ton untuk kebutuhan Oktober-November. Namun hanya direalisasikan lewat Surat Persetujuan Pemasukan (SPP) sebanyak 250 ribu ton. Sampai saat ini Kementan belum berencana menerbitkan SPP lagi. “Belum ada keputusan berapa yang diizinkan, kemarin hanya dikeluarkan sekitar 250 ribu ton. Keinginan industri pakan masuk 250 ribu ton lagi,” terang dia.
Menurut perhitungan Kementan, produksi jagung di dalam negeri sudah dapat mencukupi seluruh kebutuhan untuk Oktober sampai akhir tahun ini. Namun bila ternyata ada kekurangan pasokan, impor akan dilakukan oleh Perum Bulog, bukan oleh swasta. Sebab sampai akhir tahun ini tidak ada lagi jatah impor jagung untuk swasta.
“Kan wajar saja, pemerintah harus mengendalikan impor dan pemerintah menunjuk Bulog untuk melaksanakan itu. Bulog adalah refresentatif dari pemerintah. Kalau masih ada kekurangan pasokan, maka impor hanya akan dilakukan oleh Bulog,” jelas Nasrullah.
Ia mengklaim bahwa pemberian kewenangan kepada Bulog untuk menguasai impor jagung sudah disepakati bersama oleh pemerintah dan pihak GPMT pada rapat 5 Oktober lalu. “Mekanisme kenapa Bulog sudah diberi peran itu sudah kesepakatan bersama, dihadiri perwakilan GPMT juga. Terakhir kita rapat 5 Oktober 2015. Bahwa bila ada kekurangan stok, yang mengimpor Bulog. Nanti industri pakan ambil di Bulog,” paparnya.
ia menyatakan bahwa penugasan yang diberikan kepada Bulog untuk mengambil alih impor jagung dalam rangka pengendalian sudah sesuai dengan Undang Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) untuk aturan pelaksanaannya juga akan segera diterbitkan. Begitu Permentan terbit, izin impor jagung untuk Bulog bisa dikeluarkan. “Payung hukumnya UU Pangan, kemudian kita masukan dalam Permentan. Permentan akan segera keluar, berlaku 1 Oktober 2015,” ucapnya.
Penguasaan impor sepenuhnya yang dilakukan oleh Bulog, dikatakan Nasrullah, Bulog tidak mengambil keuntungan sama sekali. Hanya ada biaya tambahan sebesar Rp 10 per kg untuk biaya evaluasi dan penggunaannya pun akan dipertanggungjawabkan. “Rp 10 itu bukan fee Bulog, itu biaya pengecekan dan pengendalian, itu kesepakatan forum, nanti pengunaannya akan dipertanggungjawabkan untuk apa saja,” tandasnya.
Sebagai informasi, dari rencana total impor jagung tahun 2015 sekitar 3,5 juta sampai akhir Desember dengan melihat produksi jagung dalam negeri, dan impor yang sudah terealisasi sampai hari ini tercatat sebanyak 2,5 juta ton. Sedangkan total impor jagung sepanjang 2014 lalu sebesar 3,1 juta ton.
Kendalikan impor untuk jaga harga jagung petani
Pihak Kementan terus berupaya mengendalikan impor guna memperbaiki harga jagung. Kali ini Direktur Jenderal Tanaman Pangan, Hasil Sembiring, menyatakan harga jagung tahun ini masih lebih rendah ketimbang tahun lalu. Bahkan bila tak ada pengendalian impor, harga jagung lokal akan makin merosot. “Kalau nggak ada kebijakan pengendalian impor, harga jagung domestik 2015 akan jauh lebih rendah dibanding tahun 2014, sehingga dikhawatirkan mengurangi minat petani. Apa mau, harga jagung lokal jatuh lagi?,” ujarnya saat menggelar konferensi pers di kantornya, Jumat 23 Oktober 2015.
Ia menambahkan, harga jagung tahun 2015 masih lebih rendah dibanding tahun lalu. Dari data yang dikeluarkan Badan Ketahanan Pangan (BKP), harga jagung nasional pada September 2015 tercatat Rp 3.268 per kg, masih lebih rendah dari September 2014 sebesar Rp 3.430 per kg.
“Harga jagung tertinggi tahun 2014 terjadi pada bulan Juni Rp 3.576, sedangkan harga tertinggi 2015 terjadi pada bulan Juli yaitu Rp 3.408. Jadi masih lebih rendah dari tahun 2014. Kalau ada klaim harga mencapai Rp 4.000 per kg, itu hanya terjadi di Banten dan pola harga itu serupa dengan pola tahun-tahun sebelumnya. Jadi sudah biasa diantisipasi oleh indutri pakan di Banten,” tambahnya.
Ia menegaskan kembali bahwa, Kementan akan tetap melakukan kebijakan pengendalian impor. Kebijakan pengendalian impor dimaksudkan untuk memperbaiki pola impor yang selama ini tidak mendukung produksi jagung lokal. Tahun ini impor jagung melonjak bersamaan dengan musim panen.
“Data Maret 2014-Juni 2015 menunjukkan volume impor bulanan relatif tetap bahkan pada puncak panen raya. Namun, harga jagung pada saat puncak panen raya tahun ini selalu melemah dan naik lagi pada periode sesudahnya," pungkasnya. (rbs)
0 Comments:
Posting Komentar