Integrasi usaha perkebunan kelapa sawit dan usaha budidaya sapi potong memberikan harapan meningkatnya produksi dan produktivitas kedua komoditas tersebut. |
((Perkebunan kelapa sawit merupakan lumbung pakan yang melimpah. Dengan pola pemeliharaan ekstensif, yakni dengan digembalakan, maka sangat mungkin untuk bisa menghasilkan sapi bibit atau bakalan. Dengan pola pemeliharaan intensif atau semi intensif, yakni dengan program penggemukan, dapat menghasilkan daging.))
Integrasi ternak dalam suatu usaha tani tanaman adalah menempatkan dan mengusahakan sejumlah ternak, tanpa mengurangi aktvititas tanaman, bahkan dengan adanya ternak diantara tanaman, harus dapat meningkatkan produktivitas tanaman sekaligus produksi ternaknya. Integrasi ternak tersebut bertujuan agar terjadi sinergi saling menguntungkan dan pada akhirnnya dapat membantu mengurangi biaya produksi.
Dalam sebuah pelatihan tentang budidaya sapi di kebun sawit di Banjarmasin, Kalimantan Selatan beberapa waktu lalu, Pengurus Pusat Asosiasi Ahli Nutrisi dan Pakan Indonesia (AINI), Dr Mursid Ma’sum, menjelaskan integrasi usaha sawit-sapi, tujuannya adalah untuk meningkatkan produktivitas kebun kelapa sawit melalui pemanfaatan kotoran ternak sebagai pupuk organik, meningkatkan pemanfaatan hasil samping kebun kelapa sawit sebagai pakan, membantu pekebun dalam pemeliharaan kebun dengan memanfaatkan ternak sebagai tenaga kerja.
Tujuan lainnya adalah melakukan efisiensi biaya produksi kebun dengan memanfaatkan pupuk kandang, serta dapat mengembalikan kesuburan tanah. Integrasi ini juga dimaksudkan agar dapat tercapai kesejahteraan pekebun dengan adanya pertambahan kepemilikan ternak. Hal lain yang menjadi dasar pertimbangan yakni konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia perkapita relatif masih rendah dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara. Proporsi konsumsi daging sapi terhadap keseluruhan daging sebagai hasil ternak, relatif kecil, yaitu hanya 19%. Bandingkan dengan daging ayam yang mencapai 52%. Selain itu, keterbatasan lahan di Jawa dengan terkonsentrasinya kebun sawit di pulau Sumatera dan Kalimantan, telah membuka kemungkinan berkembangnya usaha budidaya sapi terintegrasi dengan perkebunan kelapa sawit. Usaha budidaya sapi memerlukan lahan dan perkebunan sawit menyediakan lahan tersebut, baik sebagai basis ekologis budidaya sapi maupun penyediaan pakannya.
Perkebunan kelapa sawit bahkan merupakan lumbung pakan yang melimpah. Dengan pola pemeliharaan ekstensif, yakni dengan digembalakan, maka sangat mungkin untuk bisa menghasilkan sapi bibit atau bakalan. Dengan pola pemeliharaan intensif atau semi intensif, yakni dengan program penggemukan, dapat menghasilkan daging. Penelitian tentang integrasi sawit-sapi pun telah banyak menghasilkan, utamanya dalam hal penyediaan pakan, baik menyangkut jumlahnya maupun kandungan nutrisinya. Begitu juga, telah tersedia teknologi pengolahan produk samping industri sawit, seperti batang, pelepah dan daun, tandan kosong, lumpur sawit dan bungkil inti sawit, menjadi bahan pakan ataupun pakan.
Mursyid mengungkapkan, penelitian tentang potensi pakan yang tersedia dari usaha perkebunan sawit dan pabrik pengolahan sawit telah banyak dilakukan. Penelitian ini tidak saja menyangkut jumlah (kuantitas) pakan yang dapat dihasilkan, tetapi juga kandungan nutrisi untuk masing-masing jenis bahan pakan yang berasal dari kelapa sawit. Beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa satu ha perkebunan sawit dapat menampung dua ekor sapi. Namun, banyak diantara kita “menyederhanakan” perhitungan potensi kapasitas tampung lahan sawit ini hanya berdasarkan pada luas perkebunan sawit. Sehingga, potensi sapi yang bisa dibudidayakan di perkebunan sawit mencapai sekitar 23 juta ekor sapi (11,91 juta ha x 2 ekor sapi).
Konsentrasi perkebunan sawit 95% ada di luar Jawa, yaitu Sumatera 62,46% (sekitar 7,0 juta ha) dan Kalimantan 32,99% (sekitar 3,7 juta ha). Data per regional (pulau) dapat dilihat pada table berikut:
Luas Perkebunan Sawit, Populasi Sapi dan Pemotongan Sapi
No
|
Regional
|
Kebun Sawit
|
Populasi Sapi
|
Pemotongan Sapi
|
||||
Luas (ha)
|
%
|
Ekor
|
%
|
Ekor
|
%
|
Ekor/hari
|
||
1
|
Sumatera
|
7.032.856
|
62,46
|
3.075.135
|
19,94
|
459.643
|
21,14
|
1.259
|
2
|
Jawa
|
33.367
|
0,30
|
6.699.037
|
43,44
|
1.140.619
|
52,45
|
3.125
|
3
|
Bali-Nusra
|
0
|
0
|
2.498.189
|
16,20
|
152.554
|
7,02
|
418
|
4
|
Kalimantan
|
3.714.292
|
32,99
|
507.960
|
3,29
|
155.477
|
7,15
|
426
|
5
|
Sulawesi
|
367.877
|
3,27
|
2.294.530
|
14,88
|
222.571
|
10,23
|
610
|
6
|
Maluku-Papua
|
111.883
|
0,99
|
344.832
|
2,24
|
43.796
|
2,01
|
120
|
Nasional
|
11.260.275
|
100,00
|
15.419.719
|
100,00
|
2.174.660
|
100,00
|
5.958
|
Sumber: AINI, diolah dari Statistik Perkebunan (2016) dan Statistik Peternakan dan
Kesehatan Hewan (2016).
Potensi perkebunan sawit yang dapat diintegrasikan dengan budidaya sapi adalah berdasarkan luas tanaman yang telah menghasilkan (TM). Saat ini, luas tanaman TM secara nasional adalah sekitar 7,8 juta ha. Sedangkan proyeksi tahun 2018 sekitar 7,9 juta ha dan 8,1 juta ha untuk 2019 mendatang, atau sekitar 66,6% dari luas perkebunan sawit seluruhnya. Jadi, berdasarkan luasan tanaman sawit yang telah menghasilkan tersebut, maka potensi ternak sapi yang bisa diintegrasikan dengan perkebunan sawit berkisar antara 15-16 juta ekor.
Dari tabel terlihat bahwa terjadi kesenjangan antara wilayah perkebunan sawit (sebagai sumber pakan) dengan konsentrasi populasi sapi saat ini. Luas perkebunan sawit di Jawa hanya 0,3% mempunyai populasi sapi 43,4 %. Sementara pulau Sumatera yang mempunyai luas kebun sawit sebesar 62,46% memiliki populasi sapi hanya 19,94%. Begitu juga Kalimantan, yang mempunyai luas kebun sawit 32,99%, populasi sapinya hanya 3,29%. Tabel tersebut juga menggambarkan perbandingan antara populasi sapi per regional (pulau) dengan jumlah pemotongan sapi (sebagai representasi permintaan daging sapi ataupun pasar sapi). Di sini, menunjukkan proporsi distribusi pasar yang tidak merata. Pasar sapi ataupun dagingnya masih terkonsentrasi di pulau Jawa (52,45%) dan Sumatera 21,14%.
Integrasi sawit-sapi makin menjadi usaha yang diharapkan dan pemerintah pun mendorong terlaksananya usaha integrasi ini dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Pertanian No. 105 tahun 2014 tentang Integrasi Usaha Perkebunan Kelapa Sawit dengan Usaha Budidaya Sapi Potong. Regulasi tersebut diperkuat dengan permentan yang baru, yakni Peraturan Menteri Pertanian No. 49 Tahun 2016 tentang Pemasukan Ternak Ruminansia Besar ke Dalam Wilayah Negara. Peraturan tersebut menetapkan bahwa importir sapi bakalan diwajibkan memasukkan sapi indukan dengan rasio 20% bagi pelaku usaha dan 10% bagi koperasi peternak dan kelompok peternak. Peraturan ini mengakibatkan praktisi feedloter harus mencari cara yang paling efisien agar tidak rugi dalam memelihara sapi indukan.
Dalam simulasi perhitungan kasar dari beberapa ahli menunjukkan, bahwa pemeliharaan sapi indukan akan rugi sebanyak minimal Rp 3.000.000 per ekor per sembilan bulan jika dipelihara secara intensif. Dengan demikian, praktisi feedlot yang impor sapi sebanyak 10.000 ekor akan mengalami kerugian sebesar 30 milyar rupiah per sembilan bulan.
Sementara itu, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun. Dalam kajian yang dilakukan oleh AINI, setidaknya dalam 10 tahun terakhir ini terjadi peningkatan luasan area perkebunan kelapa sawit di Indonesia sebesar 46%, dengan luas area pada 2015 mencapai 11.300.370 ha. Peningkatan ini tentunya diikuti dengan meningkatnya kebutuhan pupuk dan herbisida untuk pemberantasan gulma. Jika diteliti lebih lanjut, perkebunan kelapa sawit sangat berpotensi sebagai penyedia pakan bagi ruminansia. Pakan dapat tersedia dari vegetasi tanaman sela atau hijauan antar tanaman/bagian bawah pohon yang bersifat gulma, daun kelapa sawit dan pelepah batang kelapa sawit.
Untuk meningkatkan efisiensi pemeliharaan sapi indukan sekaligus meminimalkan biaya pupuk sawit, maka sistem integrasi sapi-sawit merupakan konsep yang tepat. Konsep ini memberikan keuntungan bagi praktisi feedlot diantaranya harga pakan menjadi murah, biaya tenaga kerja berkurang, sapi menjadi sehat dan mudah beranak. Dari segi animal welfare, dapat dikatakan bahwa sapi dalam tingkat sejahtera. Bagi pihak perkebunan sawit juga mendapatkan keuntungan diantaranya mengurangi biaya pemupukan, mengurangi biaya herbisida dan upah tenaga kerja. Selain itu, perkebunan sawit dalam jangka panjang dapat menghasilkan minyak organik.
Integrasi usaha perkebunan kelapa sawit dan usaha budidaya sapi potong memberikan harapan meningkatnya produksi dan produktivitas kedua komoditas tersebut. Walaupun usaha ini telah menjadi program pemerintah untuk mendukung kedaulatan pangan, Mursyid menandaskan, tentang masih banyak tantangan yang dihadapi oleh para pelaku di lapangan agar program ini berhasil dengan baik. Oleh karena itu, upaya-upaya yang telah dilakukan oleh berbagai pihak, baik oleh perusahaan kelapa sawit swasta, BUMN, pekebun rakyat untuk melakukan usaha integrasi sawit-sapi ini secara empiris bisa menjadi basis lesson learn bagi semua pihak. Begitu juga hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh berbagai perguruan tinggi maupun balai atau pusat penelitian, bisa dijadikan landasan teori untuk menerapkan integrasi sawit-sapi.
Andang S. Indartono
Pengurus Asosiasi Ahli Nutrisi
dan Pakan Indonesia (AINI)
IG: @and4ng
email: andang@ainionline.org
0 Comments:
Posting Komentar