-->

DETEKSI PENYEBAB CACAT GENETIK PADA BELGIAN BLUE DAN PENCEGAHANNYA

Pedet sapi Belgian Blue (Istimewa)

Sapi Belgian Blue (Bos taurus) merupakan jenis sapi baru yang dikembangkan di Indonesia. Sapi ini dikembangkan oleh Kementerian Pertanian melalui beberapa UPT yang tersebar di Indonesia.

Pengembangan sapi Belgian Blue (BB) di Indonesia tentu akan meningkatkan produktivitas ternak, namun perlu juga dilakukan kajian dari berbagai bidang ilmu agar dampak positif dan negatif dari pengembangan sapi BB dapat diprediksi. Salah satu kajian yang menarik pada sapi BB adalah terkait bidang genetika penyakit. Dari studi pustaka, penulis mencatat bahwa terdapat dua kasus cacat genetik yang ditemukan pada sapi BB, yaitu sindrom osteopetrosis with gingival hamartoma (OGH) dan dwarfism (Sartelet et al., 2012; Sartelet et al., 2014; Cieploch et al., 2017).

Gejala klinis sindrom OGH pada sapi BB antara lain, kelahiran prematur disertai malformasi pertumbuhan jaringan jinak abnormal pada gusi (gingival hamartoma), bentuk tengkorak abnormal, lidah menjulur dan hidrops ascites (Gambar 1).

Gambar 1. Gambaran klinis sapi Belgian Blue yang menderita hamartoma congenital.
A: Pedet yang lahir prematur disertai gingival hamartoma, bentuk tengkorak abnormal, hidrops ascites dan hepatomegali, serta hati sapi yang terkena sindrom OGH (kiri) dan normal (kanan).
B: Bagian sagital kepala menunjukkan hamartoma pada rahang bawah (tanda panah).
C: Pada kasus pedet yang mati, terlihat hamartoma yang parah pada gingival (tanda panah).
D: Penampakan bentuk tengkorak abnormal disertai lidah yang menjulur pada kasus pedet yang hidup.
(Sumber: Sartelet et al., 2014)

Kejadian patah tulang juga terjadi pada sapi penderita sindrom OGH dan disebabkan karena kepadatan tulang yang abnormal akibat gangguan fungsi osteoklas (osteopetrosis). Sindrom osteopetrosis menyebabkan gangguan pembentukan sel darah, anemia, trombositopenia, hipokalsemia dan hepatosplenomegali.

Selain itu, sapi yang terkena sindrom OGH menunjukkan tidak terbentuknya rongga sumsum tulang akibat pemadatan tulang (Gambar 2).

Gambar 2. Perbandingan potongan transversal (kiri) dan sagital (kanan) dari tulang tibialis antara anak sapi Belgian Blue yang mengalami mutasi (MUT) dan kontrol (WT). Pada mutan menunjukkan tidak adanya rongga sumsum tulang akibat osteopetrosis. (Sumber: Sartelet et al., 2014)

Sementara, gejala klinis sindrom dwarfism pada sapi BB dapat dikenali dengan mudah karena memiliki ciri fisik yang terlihat lebih pendek dibandingkan sapi BB yang lain (Gambar 3)

Gambar 3. Perbandingan sapi BB yang mengalami sindrom dwarfism (bawah) dan sapi BB normal (atas) akibat mutasi gen RNF11. (Sumber: Sartelet et al., 2012)

Sindrom OGH pada sapi disebabkan karena terjadi mutasi pada gen bovine Chloride Voltage-Gated Channel 7 (bCLCN7). Pada sapi, gen ini terletak pada kromosom 25. Gen ini berfungsi untuk menghasilkan protein choride channel 7 (CLC7) yang penting untuk mengatur metabolisme pada lisosom dan resorpsi tulang.

Pada sapi BB terdapat tiga titik mutasi pada bagian ekson 23 gen bCLCN7 (Bos taurus) yaitu c.2292G>C; c.2296T>C dan c.2298C>A (Gambar 4).

Gambar 4. Tiga titik mutasi pada gen bCLCN7 (GenBank: DQ73465) sapi Belgian Blue terjadi pada basa ke 2292 (G→C), 2296 (T→C) dan 2298 (C→A). (Sumber: Sartelet et al., 2014)

Mutasi pada basa ke 2296 dan 2298 menyebabkan terjadinya perubahan asam amino dari Tyrosine (TAC) menjadi Glutamine (CAA). Perubahan asam amino tersebut menyebabkan perkembangan sel dan jaringan tidak berkembang dengan baik, sehingga terjadi sindrom OGH pada sapi.

Sedangkan sindrom dwarfism pada sapi BB disebabkan karena terjadi mutasi pada gen bovine RING finger protein 11 (bRNF11). Pada sapi, gen ini terletak di kromosom 3. Gen ini berfungsi untuk menghasilkan protein transforming growth factor β (TGF-β) dan epidermal growth factor receptor (EGFR) yang penting untuk proses pertumbuhan. Gen bRNF11 (Bos taurus) pada sapi BB dwarfism memiliki satu mutasi transisi diposisi c.334A>G pada ekson 1 dan satu mutasi delesi diposisi c.335/506del atau c.335/343del pada ekson 2 (Gambar 5).

Gambar 5. Mutasi pada gen bRNF11 (GenBank: NM001077953) sapi Belgian Blue.
A: Mutasi transisi pada basa ke 334 (A→G).
B: Delesi 170 pb dari basa ke 335 sampai 506.
C: Delesi 7 pb dari basa ke 335 sampai 342.
(Sumber: Sartelet et al., 2012).

Sindrom OGH dan dwarfism pada sapi dapat dilakukan dengan mudah apabila manajemen pencatatan ternak (recording) telah dijalankan baik. Melalui data recording, sapi-sapi yang memiliki silsilah riwayat penyakit dapat diketahui dengan mudah. Selain itu, pengaturan sistem perkawinan pada sapi BB agar tidak terjadi inbreeding sangat penting dilakukan untuk mencegah kasus OGH dan dwarfism. Pemberian vitamin D dan beberapa hormon secara berkala pada sapi BB penting dilakukan untuk membantu perkembangan tulang. Vitamin D sangat penting untuk mengoptimalkan fungsi osteoklas.

Selain itu, pemberian beberapa hormon yang sesuai dosis antara lain, hormon erythropoietin dan kortikosteroid penting untuk mengatasi anemia dan merangsang proses resorpsi tulang. Oleh sebab itu, pengembangan sapi BB di Indonesia harus dilakukan dengan sistem manajemen yang baik agar kasus OGH dan dwarfism dapat dicegah. ***

Widya Pintaka Bayu Putra, M.Sc.
Drh Mukh Fajar Nasrulloh
Pusat Penelitian Bioteknologi - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Related Posts

0 Comments:

Posting Komentar

ARTIKEL POPULER MINGGU INI

Translate


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer