-->

PELATIHAN PEMBIAKAN SAPI KERJASAMA UGM - PARTNERSHIP AUSTRALIA

Peserta pelatihan pembiakan sapi potong (Foto: Dok. UGM)



Fakultas Peternakan (Fapet) Universitas Gadjah Mada (UGM) kembali menjadi penyelenggara pelatihan pembiakan sapi potong bertajuk Commercial Cattle Breeding and Management Training Program Batch IV, yang merupakan kerja sama dengan Indonesia-Australia Red Meat and Cattle Partnership pada 2-25 September 2019.

Dekan Fakultas Peternakan UGM, Prof Dr Ir Ali Agus DAA DEA IPU pada pembukaan pelatihan ini di Grand Aston Hotel, Yogyakarta pada Senin (2/9) menyatakan Fapet UGM dipercaya menjadi penyelenggara pelatihan pembiakan untuk keduakalinya. “Kami tidak akan mengajari peserta, yang telah menjalankan bisnis peternakan sapi dengan segudang pengalaman. Namun kami akan menyegarkan kembali teori, sharing hasil penelitian, pengalaman termasuk pengalaman orang lain yang kami tampung. Kami hanya menjadi fasilitator saja,” ungkapnya.

Dijelaskannya, pelatihan ini berguna untuk memantik semangat untuk menyusun upaya pencapaian efisiensi peternakan sapi potong, terutama pada segmen pembiakan, melalui berbagai pendekatan. Diantaranya adalah manajemen reproduksi, nutrisi, dan kesehatan ternak dengan memanfaatkan sumberdaya setempat untuk menjawab persoalan aktual pada usaha pembiakan yang dijalankan.

Muhamad Isradi Alireja, Team Leader Advisory and Support Group, Indonesia-Australia Red Meat and Cattle Partnership menyatakan bahwa pelatihan ini diikuti oleh 20 peserta dari perwakilan perusahaan peternakan sapi potong dan kelompok peternak sapi. Mereka akan mengikuti sesi pelatihan dalam ruangan, kunjungan lapangan ke kampus dan peternakan sapi (pembiakan dan rearing) di Indonesia (2-15 September) dan di Australia (16-25 September).

Dikatakannya, setiap lokasi peternakan sapi potong yang dikunjungi memiliki keunikan, dengan potensi dan kondisi lingkungan yang berbeda-beda, dan tentu saja memiliki masalah yang berbeda. “Kita di sini berbagi pengalaman, juga menangkap, mengumpulkan dan mengidentifikasi masalah.  Setelah pelatihan ini nanti, peserta akan diberikan kesempatan untuk mengikuti serangkaian uji kompetensi sebagai Cattle Breeding Manager,” dia menerangkan.

Course leader, Ir Panjono SPt MP PhD IPM mengatakan, pada akhir pelatihan ini peserta pelatihan mendapatkan tugas berupa individual project  dengan jangka waktu pelaksanaan antara 3-6 bulan, untuk mengaplikasikan langsung pengetahuan yang diperoleh di tempatnya bekerja. “Project tidak harus berbiaya besar, bisa hal-hal yang sederhana, misalnya membuat mineral blok yang diformulasi untuk induk. Kemudian peserta dari training batch III dan batch IV akan dikumpulkan, untuk mempresentasikan project mereka. Pelaporan tidak usah menggunakan format jurnal, cukup dengan format file presentasi power point,” urainya.

Urgensi Pembiakan Sapi Potong

Menurut Ali Agus, pembiakan sapi merupakan produksi pedet sebagai calon bakalan sapi yang akan digemukkan melalui proses fattening, yang pada akhirnya dipotong untuk memproduksi daging. “Permintaan daging akan terus meningkat, sehingga perlu upaya yang semakin keras dan cerdas dari para pelaku usaha sapi potong untuk mengisi gap antara supply - demand sapi potong. Untuk itu semua resources harus dimanfaatkan, termasuk training dan networking,” jelas dia.

Ali Agus berpesan, antar sesama perusahaan peternakan sapi, tidak selalu harus saling berkompetisi, namun justru harus dibangun kerja sama. Diberikannya contoh, peternakan sapi pada hari-hari ini kekurangan suplai onggok (ampas dari produksi pati ketela) sebaggai bahan baku utama pakan. “Maka bisa dijalin networking, impor secara bersama-sama misalnya dari Thailand dan Vietnam,” katanya. Ditambahkannya, kelangkaan onggok terjadi karena turunnya produksi ketela pohon akibat program pemerintah untuk produksi jagung secara besar-besaran. Peralihan lahan dari lahan singkong menjadi lahan jagung, berimbas pada kelangkaan onggok untuk bahan pakan peternak sapi.

Panjono menuturkan, berkaca dari kegagalan program pembiakan sapi pemerintah melalui impor induk bunting pada masa lalu, kegagalan terjadi karena terjadi ketidaktepatan jenis induk yang dipakai dengan manajemen perkandangan/pemeliharaan dan manajemen pakan yang diberikan. “Ketika kelompok peternak didrop induk bunting, berhasil lahir pedet. Namun peternak tidak berhasil untuk membuntingkan lagi,” kata dia.

Kasus itu terjadi, lanjut dia, karena induk sapi yang dipergunakan adalah jenis Brahman Cross (Bx) yang dikenal memiliki sifat silent heat atau birahi tanpa menunjukkan gejala, sehingga perkawinan dengan inseminasi buatan (IB) sulit dilaksanakan. Selain itu, di peternakan asalnya (Australia), sapi Bx dipelihara dengan dilepaskan di padang rumput, mereka makan dan kawin secara alami di dalamnya. Sehingga ketika di Indonesia dipelihara di kandang, sapi-sapi itu mengalami stress.

Sebagai pemateri ketiga pada hari pertama pelatihan, Prof Ir I Gede Suparta Budisatria MSc PhD IPU menjelaskan, pembiakan sapi di Indonesia selama ini masih dibebankan kepada peternak subsistem yang membiakkan dan memelihara sapi sebagai tabungan. “Sapi kita jumlahnya 17 juta ekor, tetapi saat pengusaha penggemukan sapi mencari sapi bakalan 6.000 ekor saja kesulitan. Apalagi kalau mencari yang bobot dan umur seragam,” ungkapnya.

Kendala utama dari pembiahkan sapi adalah investasi yang panjang, beresiko lebih besar dan padat modal. Biaya produksi seekor pedet pada pembiakan konvensional antara Rp 6 juta - Rp 7 jutaan perekor. Jika ditambah biaya rearing, maka sampai menjadi bakalan sapi potong keluar biaya Rp 15 jutaan. Padahal di Australia, biaya produksi seekor pedet hanya Rp 2 juta- Rp 3 jutaan.

Maka Gede memberikan rekomendasi, untuk mengefisienkan pembiakan sapi potong komersil di Indonesia sebaiknya dikombinasikan dengan  kemitraan yang melibatkan subsystem farmer. Bisa mengombinasikan sistem integrasi sistem sapi-kelapa sawit dengan kemitraan peternak subsistem, atau sistem penggembalaan yang bermitra dengan peternak subsistem. Dia pun mengapresiasi, ternyata sudah ada yang mengaplikasikan model ini, dengan berbagai variasinya. Sebagaimana muncul pada sesi diskusi wakil kelompok ternak dan beberapa perusahaan yang mengikuti pelatihan ini.

Titik Kritis Pembiakan Sapi

Ali Agus memberikan materi manajemen nutrisi induk pada triwulan pertama pasca melahirkan pedet. Pada masa ini bobot badan induk akan turun, karena dikurangi dengan bobot pedet dan mobilisasi cadangan nutrisi tubuh untuk memproduksi susu. “Berkebalikan dengan kondisi awal kebuntingan, saat itu bobot induk justru naik karena pertumbuhan fetus dan peningkatan deposisi cadangan nutrisi tubuh.

Dia menegaskan, pada prinsipnya induk harus segera siap kawin kembali setelah melahirkan, jika induk bisa bunting lagi pada bulan ke 12 atau 13 dari kebuntingan sebelumnya, dan tidak kawin berulang hingga lebih dari 2 kali, itu sudah cukup baik untuk di Indonesia. “Karena opportunity lost untuk ribuan ekor populasi induk, angkanya sangat besar. Setiap periode estrus adalah 21 hari, sehingga setiap kemunduran satu siklus kawin, jika perusahaan pembiakan memiliki 10 ribu ekor induk, akan mengalami kerugian biaya pakan minimal Rp 10.000 x 21 hari x 10.000 ekor = Rp 2,1 miliar,” Ali Agus menguraikan.

Program Partnership
Isradi menjelaskan, program Partnership diinisiasi oleh pemerintah Australia sejak 2013, dan akan terus berlanjut hingga 2023. Sebelumnya, program ini memberikan pelatihan pemeriksaan kebuntingan (PKB), pelatihan manajemen reproduksi sapi untuk dokter hewan, pelatihan meat processing, dan pelatihan untuk pemangku kebijakan.

“Program Partnership telah menjangkau 300 orang sejak 2013. Pelatihan commercial cattle breeding management sudah keempat kali digelar sejak 2018. Melibatkan 80 peserta, dari peternak, kelompok peternak, dan perusahaan peternakan sapi yang bergerak pada cattle breeding,” tutur dia. (Rilis/INF)


Related Posts

0 Comments:

Posting Komentar

ARTIKEL POPULER MINGGU INI

Translate


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer