Oleh: Tony Unandar (Private Poultry Farm Consultant – Jakarta)
Jargon “more eggs less feed” tampaknya sudah “lengket” dengan karakteristik umum Ayam Petelur Modern (APM). Sadar atau tidak, sekarang para peternak ayam petelur tengah berhadapan dengan ayam petelur “gaya baru”. Keengganan untuk mengikuti perubahan tata laksana pemeliharaan yang seiring dengan perkembangan genetik APM tersebut tentu saja akan memengaruhi penampilan (performance) akhir ayam yang dipelihara. Ujung-ujungnya, tidak saja menyebabkan keuntungan yang sudah di depan mata melayang, tetapi juga dapat menjadi faktor pencetus masalah baru yang kompleks dan terkesan misterius. Gangguan produksi telur APM pada sindroma obesitas yang diikuti oleh “yolk peritonitis” misalnya, adalah suatu contoh yang paling representatif dan sering terjadi di lapangan.
Perkembangan genetik APM memang sangat spektakuler. Jika diikuti dengan perbaikan tata laksana pemeliharaan yang sesuai, maka seekor APM mampu menghasilkan paling tidak 350 butir telur per hen house selama 75 minggu produksi atau sebanyak 429 butir telur per hen house selama 90 minggu produksi. Bandingkan dengan sebelumnya, pada tahun 2000 ke bawah, rata-rata hanya 319 butir telur per hen house selama 75 minggu produksi. Itu saja tidak cukup. Bobot telurnya pun lebih besar, yang tadinya berkisar antara 56-62 gram per butir menjadi 60-65 gram per butir. Perbaikan penampilan fenotip ini tentu saja menuntut kualitas pullet yang baik, dimana perkembangan bobot badan dan keseragaman ayam selama masa pullet harus seiiring berkembang.
Salah satu sifat APM yang sangat menonjol adalah keseimbangan pembentukan dasar konformasi tubuh (antara kerangka dan per-ototan) yang sangat dominan paling telat sampai ayam berumur 6 minggu. Itulah sebabnya, pada saat APM berumur 4 minggu, maka bobot badan harus mencapai bobot minimal yang ditentukan berdasarkan standar strain yang ada dan dengan keseragaman ayam yang harus di atas 80%. Melalui timbang bobot badan dan “grading” seratus persen pada umur 4 minggu tersebut, maka peternak hanya mempunyai kurun waktu dua minggu untuk memperbaikinya, karena puncak pertumbuhan hiperplasia untuk organ-organ visceral terjadi antara 4-6 minggu.
Gangguan pertumbuhan pada fase ini tentu berarti terhambatnya perkembangan tipe hiperplasia (pertambahan jumlah sel) dari sel tulang (osteoblast), sel otot (sarcoplasma) maupun sel-sel sistem tubuh lainnya. Pencapaian bobot badan yang sesuai bobot standar strain merupakan suatu indikator yang baik untuk membaca kecukupan nutrisi yang diperoleh APM selama masa pullet dari minggu ke minggu. Di sisi lain, tatalaksana pemeliharaan yang telaten sesuai dengan “pakem” yang ada dapat memperbaiki keseragaman pullet dari waktu ke waktu.
Pertumbuhan hiperplasia tersebut terus berlanjut sampai ayam berumur 8-10 minggu, tergantung jenis sistem tubuh. Yang jelas, pertumbuhan hiperplasia kerangka tubuh (framing) sudah mendekati jenuh pada saat ayam berumur 8-10 minggu, sedangkan pertumbuhan hiperplasia per-ototan (fleshing) mendekati jenuh ketika pullet berumur 6-8 minggu. Itulah sebabnya, tidak tercapainya bobot badan ayam pada umur 6 minggu akan membawa dampak yang cukup signifikan pada penampilan produksi (% hen day), kualitas telur dan total deplesi dari flok ayam yang bersangkutan pada fase produksi.
Gangguan pertumbuhan hiperplasia kerangka tubuh akan membatasi pertumbuhan matriks tulang, yaitu tempat untuk menyimpan senyawa kalsium yang sangat dibutuhkan pada saat produksi. Kerangka tubuh yang relatif lebih kecil akan mengakibatkan kelebihan nutrisi yang dikonsumsi pada fase-fase selanjutnya dan dengan mudah dideposit menjadi lemak tubuh, khususnya lemak perut (abdomen). Ini berarti, obesitas lebih mudah terjadi. Pada APM, cadangan energi yang baik adalah otot kerangka, bukan pada lemak tubuh. Itulah sebabnya, pada saat menjelang produksi telur (umur 14 minggu), ketebalan lemak abdomen tidak boleh lebih dari 0,5 cm.
Di samping itu, strain-strain baru dari APM cenderung mempunyai konversi pakan yang sangat baik pada saat umur 8-12 minggu. Keteledoran dalam mengelola pemberian pakan akan memperbesar peluang terjadinya obesitas alias kegemukan. Dalam fase ini juga sering terjadi menurunnya keseragaman ayam. Paling banyak disebabkan karena pola pemberian pakan yang ceroboh. Oleh sebab itu, monitor respon pakan dalam bentuk monitor bobot badan ayam secara mingguan sangat dianjurkan secara ketat pada fase ini.
Pada kejadian obesitas, tingginya deposit lemak abdomen akan mengakibatkan beberapa hal pada masa produksi seperti: a) Meningkatnya kasus prolaps yang diikuti dengan kanibalisme dan kematian ayam. b) Tingginya kejadian mati mendadak akibat terjadinya perlemakan hati (Fatty liver syndrome). c) Meningkatnya kasus “floating eggs” (ovum terlempar ke dalam rongga perut) yang berlanjut dengan yolk peritonitis. Kondisi terakhir ini biasanya berkembang menjadi lebih parah jika terjadi infeksi sekunder oleh kuman Koli.
APM yang umumnya mempunyai kerangka tubuh (body frame) relatif lebih kecil alias ramping dibandingkan dengan ayam petelur klasik tentu akan mempunyai kepekaan yang lebih tinggi terhadap efek obesitas. Menyempitnya liang pubis merupakan suatu contoh yang paling representatif. Kondisi ini jelas akan mengakibatkan gangguan fisiologis saat ayam akan bertelur, yaitu dalam bentuk manifestasi prolaps yang terjadi beberapa saat setelah peletakan telur. Prolaps yang ditemukan akibat adanya obesitas biasanya terjadi beberapa minggu sebelum puncak produksi telur dan terus berlanjut hingga 2-4 minggu setelah puncak produksi tercapai. Keadaan inilah yang mengakibatkan penyusutan (deplesi) ayam selama produksi akan meningkat antara 0,2-0,3% per minggu atau bahkan lebih. Padahal dalam kondisi normal, penyusutan ayam selama produksi adalah maksimal 0,1% per minggu.
Obesitas juga akan mengakibatkan gangguan fisiologis bagian infundibulum dari oviduk (saluran reproduksi). Kondisi ini akan mengakibatkan tidak selarasnya pembukaan ujung infundibulum dengan sel telur (ovum) yang dilemparkan dari indung telur pada saat ovulasi terjadi. Tegasnya, pada ayam yang mengalami obesitas, adanya “floating eggs” yang diikuti dengan yolk peritonitis merupakan suatu hal yang paling sering ditemukan. Itulah sebabnya, mengatasi kasus yolk peritonitis di lapangan sering kali membawa rasa frustasi. Bagaimana tidak, kuman Koli (Escherichia coli) yang sering dituding menjadi penyebabnya seolah tidak bergeming sedikitpun dengan preparat antibiotika. Benarkah kuman Koli sebagai penyebab utama? Atau problem resistensi preparat antibiotika terhadap kuman Koli memang sudah terjadi? Perlu diketahui, ditemukannya kuman Koli pada pemeriksaan di laboratorium merupakan efek lanjutan proses obesitas tersebut di atas. Jadi selama problem obesitas masih dituntaskan pada individu-individu ayam dalam suatu flok, maka kejadian yolk peritonitis seolah-olah terjadi berulang-ulang dan tidak memberikan respon yang baik terhadap program pengobatan dengan antibiotika. Infeksi sekunder jelas terjadi beberapa saat setelah terjadinya “floating eggs”.
Di atas telah disebutkan bahwa obesitas juga akan mempermudah terjadinya Fatty liver syndrome (FLS). Pada kasus yang ringan, adanya FLS jelas akan mengakibatkan terganggunya sintesa albumin di dalam jaringan hati. Dengan demikian, putih telur cenderung akan lebih encer dan/atau rasionya dibandingkan dengan kuning telur cenderung akan menurun. Ujung-ujungnya adalah bobot telur akan menjadi lebih ringan dan/atau telur akan menjadi lebih kecil dari ukuran standar strain. Manifestasi FLS juga akan mengakibatkan menurunnya respon terhadap vaksin, terutama baik terhadap kekebalan humoral maupun terhadap kekebalan sel.
Untuk mengatasi hal tersebut, lakukan beberapa langkah umum seperti berikut:
• Yakinkan konsumsi pakan APM pada awal kehidupannya tercapai. Untuk ini, temperatur indukan buatan (brooder) harus sesuai dengan yang dibutuhkan dan frekuensi pemberian pakan sebanyak 6-9 kali per hari untuk minggu pertama, serta 4-6 kali per hari untuk minggu kedua dan seterusnya sangat dianjurkan. Pakan untuk minggu pertama sebaiknya diberikan ad libitum (secukupnya) dan selanjutnya ditata sesuai dengan respon pertumbuhan ayam pada minggu-minggu berikutnya.
• Lakukan pengecekan kebutuhan energi dan protein yang dapat dicerna dari strain ayam yang dipelihara berdasarkan buku penuntun pemeliharaan ayam. Dengan demikian, pengaturan jumlah pakan yang diberikan per hari tidak menyimpang dari yang dibutuhkan ayam.
• Lakukan seleksi yang ketat terhadap APM yang ada, terutama setelah minggu pertama. APM yang relatif kecil harus dipisahkan dan dikumpulkan menjadi satu kelompok tersendiri atau dibuang.
• Lakukan penimbangan bobot secara berkala, dianjurkan dimulai di minggu pertama dan segera setelah vaksinasi Gumboro atau ND yang kedua. Pada saat ayam berumur 4 minggu dianjurkan ditimbang 100% dari populasi, sedangkan lebih dari 4 minggu, maka penimbangan sebaiknya dilakukan setiap minggu sebanyak 3-5% dari total populasi, tergantung pada keseragaman ayam pada penimbangan sebelumnya.
• Monitor bobot badan APM tersebut sebaiknya juga disertai dengan analisa keseragaman ayam. Pada saat ayam berumur 4 minggu, sebaiknya keseragaman tidak boleh kurang dari 80%. Keseragaman ayam ini diharapkan terus meningkat dan pada saat menjelang produksi telur, keseragaman diharapkan tidak kurang dari 85%.
• Petakan dan bandingkan bobot badan, serta keseragaman aktual ayam dengan kurva standar yang sesuai dengan standar strain.
• Penambahan pakan untuk ayam yang berumur 8-12 minggu harus dengan kehati-hatian yang tinggi. Yang jelas, efek penambahan pakan akan mengakibatkan penambahan bobot badan dalam tempo 7-14 hari. Oleh sebab itu, penambahan pakan yang terlalu agresif tentu saja akan mempermudah terjadinya obesitas. (toe)
0 Comments:
Posting Komentar